Tampilkan postingan dengan label Ekonomi/Akuntansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi/Akuntansi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Juli 2011

Road Pricing For Congestion Management in Jakarta


It is pathetic to know that Jakarta is still trapped in the transportation problems after any kind of solutions prove insignificant implementation in overcoming the congestion problems. The government has built bus way, regulated 3 in 1 rules, even built another high way as the attempts to bring Jakarta out from traffic jam problem. This problem is definitely harmful for three aspects: social, economy and environment.

Until now, many problems have come up because of the uncontrollable congestion. People waste money for gasoline uselessly more than 5 billions every day. Then they still have to face another problem like being late to go to the office, late for the meeting, car accident risk, etc. 

To solve the congestion, several countries are successful in handling it by applying the road pricing. It is a travel demand  management by which we can control even force the society to leave an unnecessary trip which uses a private transportation and then encourage them to preferably use the public transportation.

With the road price, we charge the people who drives passing the crucial streets of traffic jam in particular time. We aim to make them aware of their contribution which has a role to cause the environmental problem, messy traffic and which harms those who do not use the private transportation.  By implementing this idea, we will be able to reduce traffic jam, decrease the pollution, balance the vehicle population in the streets and also get another income as a modal to improve the public facilities.

However, the government cannot apply this policy unless the quality of infrastructure, the traffic rules are guaranteed very well. This policy should synergize with the other policy such the law enforcement, etc.

Senin, 09 Mei 2011

Acting and Conversing


Speech Acts     
In speech acts, J.L Austin has a theory about the performative acts in which a person is not just saying something but it is actually doing something if certain real world conditions are met. He pointed out that perforamtives should met felicity conditions in order to be successful. A conventional procedures,  all participants must execute the procedures, and finally the necessary thoughts, feelings, and intentions must be present in all parties. Austin devides performatives into five categories; verdictives, exercitives, commissives, behabitives, and expositives.

On the other side, Searle argued that we can speak minimally at three kinds of acts. There are utterance acts which refers to the fact that we must utter words and sentences when we want to say anything at all, prepositional acts which refers to those matters that have to do with referring and predicitng, and illocutionary acts which refers to the intents of the speakers. As the additinon, Searle also regulates some rules in governing promise-making. Those are the propositional content, preparatory rules, sincerity rules and the essential rules.
In oppose to Austin, who concentrate his study on how the speakers realize their intentions in speaking, Searle focuses on how listeners respond to the utterances. Both Austin and Searle recognize that the people use language to achieve the variety of objectives.

Cooperation and Face; Grice and Goffman
Based on Grice’s view, it is stated that we are able to converse each other because of the recognition of common goals and the specific ways of achieving them. The acts in conversation should in line with cooperative principle, the general principle in which a mutual engagement happen between listeners and speakers. There are four maxims of cooperative principles (Grice; 1975). Those are quantity which makes the contribution as the required informatives, quality in which the belief should not be falsely said or lack adequate evidence, relation as the simple injunctions, and manner to avoid obscurity of expression and ambiguity.

In the Griece sense, a conversation is a cooperative activity depends on the speakers and listeners sharing a set of assumption. But, it is also cooperative in the sense that speakers and listeners tend to accept each other for what they claim to be, that is, the accepts of ‘face’ that the other offers. Goffman (1955) called ‘face’ as the work of presenting faces to each others, protecting our own’s face and the other’s face. In other word, ‘the affective state of the speaker’ and ‘his profile of identity’ are much the same as the idea of ‘face’.

Minggu, 24 April 2011

HUBUNGAN BANK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH


Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1.    Bertindak sebagai pemegang kas pemerintah.

2.    Untuk dan atas nama Pemerintah Bank Indonesia dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.

3.    Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan atau mengandung Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau kewenangan Bank Indonesia.

4.    Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapan dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

5.    Dalam hal Pemerintah menerbitkan surat-surat hutang Negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi denga Bank Indonesia dan Pemerintah juga wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

6.    Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat hutang negara yang diterbitkan Pemerintah.

7.    Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah.

TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA

Secara garis besar ada tiga tugas Bank Indonesia dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah seperti yang telah diungkapkan di atas. Berikut ini akan diuraikan garis-garis besar dan masing-masing tugas Bank Indonesia seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999.

1.    Menetapkan Dan Melaksanakan Kebijakan Moneter
     Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang:

a.    Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya.
b.    Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
Ø    Operasi pasar terbuka di pasar uang, baik mata uang Rupiah maupun Valas
Ø    Penetapan tingkat diskonto
Ø    Penetapan wajib minimum
Ø    Pengaturan wajib atau pembuayaan
c.    Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, paling lama 90 hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank bersangkutan.
d.    Melaksanakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan.
e.    Mengelola cadangan devisa.
f.    Menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-waktu diperlukan yang dapat bersifat makro dan mikro.

2.    Mengatur Dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Dalam tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran Bank Indonesia berwenang:
a.    Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
b.    Mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya.
c.    Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
d.    Mengatur sistem kliring antar Bank baik dalam mata uang Rupiah maupun asing.
e.    Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
f.    Menetapkan macam, harga, ciri uang yang dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah.
g.    Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran, termasik memberikan penggantian dengan nilai yang sama.

3.    Mengatur dan Mengawasi Bank
Dalam hal mengatur dan mengawasi Bank, Bank Indonesia berwenang:
a.    Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
b.    Memberikan dan membuat izin usaha bank.
c.    Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank.
d.    Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank.
e.    Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.
f.    Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan Bank Indonesia.
g.    Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
h.    Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut duduga merupakan tindakan pidana dibidang perbankan.
i.    Mengatur dan mengembangkan informasi antar bank.
j.    Mengambil tindakan terhadap suatu bank sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku apabila menurut penilaian Bank Indonesia dapat membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan perekonomian nasional.
k.    Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang.

Selasa, 19 April 2011

SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA


Saat ini di Indonesia terdapat 105 penyelenggara kliring lokal, baik yangdilaksanakan oleh Bank Indonesia maupun pihak lain yang ditunjuk oleh BankIndonesia.Transaksi yang dapat diproses melalui sistem kliring meliputi transfer debet dantransfer kredit yang disertai dengan pertukaran fisik warkat, baik warkat debet (cek,bilyet giro, nota debet dan lain-lain) maupun warkat kredit. Khusus untuk transferkredit, nilai transaksi yang dapat diproses melalui kliring dibatasi di bawahRp100.000.000,00 sedangkan untuk nilai transaksi Rp100.000.000,00 ke atas harusdilakukan melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BIRTGS).
Dalam melaksanakan kegiatan kliring tersebut, digunakan 4 (empat) jenis sistemyang berbeda yaitu :a. Sistem Kliring Elektronik atau dikenal dengan SKEJ,digunakan di Jakarta;b. Sistem Kliring Otomasi, digunakan di Surabaya, Medan dan Bandung;c. Sistem Semi Otomasi Kliring Lokal atau dikenal dengan SOKL, digunakan di 33wilayah kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan 37 wilayah kliringlainnya yang diselenggarakan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia;sertad. Sistem Manual (di 31 penyelenggara Non-BI).Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, kebutuhan efisiensi dalampenyelenggaraan kliringpun semakin meningkat. Dengan volume rata-rata harian +300.000 lembar transaksi, penggunaan warkat kredit untuk transfer dana antar bankmelalui kliring menjadi salah satu issues yang perlu dicermati khususnya terkaitdengan biaya pencetakan warkat dan prosedur pemrosesan warkat itu sendiri. Dipihak lain, transfer kredit antar bank melalui Sistem BI-RTGS, telah dilakukan secarapaperless.
Selain itu, keragaman sistem kliring yang digunakan saat ini danketerbatasan cakupan wilayah dalam melaksanakan transfer kredit antar bankmelalui kliring masih bersifat lokal (hanya mencakup transfer antar bank yang ada diwilayah kliring setempat), sehingga transfer dana antar bank keluar wilayah kliringharus dilakukan bank sendiri melalui mekanisme yang lain