Permulaan bab ini diawali dengan penjelasan mengenai konsep pembagian ilmu menurut Al Juwaini. Dikatakan bahwa secara garis besar, ilmu itu terbagi menjadi dua cabang: Ilmu kekal (Qadim) dan Ilmu baru (Hadits). Ilmu Tuhan yang bersifat kekal merupakan sifat Tuhan yang ada pada dzatnya, senantiasa berkaitan dengan obyek pengetahuan yang tiada hentin-hentinya. Di sisi lain, ilmu hadits adalah ilmu yang dimiliki manusia. Ilmu ini terbagi atas tiga macam; ilmu daruri (pengetahuan diketahui secara otomatis), badihi (pengetahuan didaoat karena kebutuhan), dan nazari (ilmu didapat karena diusahakan).
Pada umunya, tidak terdapat banyak perbedaan pandangan yang ditemukan di kalangan para mutakallimun. Mayoritas dari mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua hal: Ilmu qadin dan ilmu hadits. Hanya Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya ilmu Tuhan yang qadim, sesuia dengan prinsip mereka yang tidak mengakui adanya sifat bagi Tuhan.
Di pembahasan selanjutnya, penulis memaparkan konsep filsafat wujud ala Al Juwaini. Menurutnya, al mawjudat (sesuatu yang ada) terbagi menjadi dua: Pertama, Maujud yang tidak punya awal dan tidak punya akhir, yakni maujud yang qadim, Alloh swt. Maujud yang pada wujudnya. Kedua, maujud yang pada wujudnya mempunyai pembukaan dan pembukuan. Intinya, pendapat Al Juwaini sama dengan konsep ajaran Aswajadan Mu;tazilah Baghdad. Mereka sepakat bahwa ma’dum boleh menjadi ma’lum, tapi tidak digolongkan ke dalam syai’.
Sedangakan dalam filsafat alam, ulama ini berpendapat bahwa alam ini nisbi, keberadaanya tergantung pada keberadaan Tuhan. Alam senantiasa mendapat energi tamabahan dari Tuhan dalam menjalankan Sunnatullah. Pendapat seperti ini tidak jauh berbeda dari pendapat Abd Al Jabbar dan Abu Al Huzail yang berkata kalau alam terdiri dari jism-jism dan makna yang ada padanya. Perbedaan diantara ketiga ulama ini hanya ter;etak pada pemakaian istilah saja. Al-Juwainin memakai kata-kata jawahar dan ard, sedangkan Al Jabbar dan Al Huzail memakai kata jism dan makna dalam membahas teori atom.
Dalam membahas soal kalam dan melihat Tuhan, pendapat Al Juwaini sama dengan pendapat Al Asy’ari. Dikatakan bahwa kalam Tuhan adalah kalam nafsi yang berupa makna dibalik ayat-ayat al Qur’an dan sifatnya qadim. Adapun soal melihat Tuhan, bahwa Tuhan bisa dilihat nanti bila manusia telah ada di surga. Dapat melihat Tuhan adalah suatu kenimatan yang luar biasa. Dalam hal kalam dan melihat Tuhan, Al Juwaini berbeda pandangan dengan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, kalam Tuhan bukan merupakan sifat Tuhan tapi kalam ciptaan Tuhan dan sifatnya baru. Soal apa Tuhan bisa dilihat bagi Mu’tazilah adalah hal yang tidak mungkin. Hukum yang ada pada Tuhan tidak pernah diperbarui ataupun berubah, yang awalnya di dunia tidak bisa dilihat lalu di akhirat tuahn menjadi bisa dilihat.
Dalam soal perbuatan manusia, walau Al Juwaini memakai istilah kasb, seperti Al Asy’ari, tetapi pemahaman yang ditunjukkan mirip dengan Qadariyah. Padahl kasb menurut Al Asy’ari memiliki hasil pemahaman yang mengarah ke pemikiran ala Jabariyah. Ini disebabkan Al Juwaini mengintepretasikan ciptaan Tuhan dan paham kehendak Tuhan sedangkan Al Asy’ari tidak melakukannya. Qadariyah yang dipahami Al juwaini berbeda dengan Qadariyah yang dipahami Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia bebas dalam menentukan perbuatan sesuai dengan kehendaknya, karena manusis sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Bagi Al Juwaini, manusia hanya memiliki kebebasan untuk mengarahkan daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuia dengan kehendak dan kemauannya. Manusia tidak menciptakan perbuatannya sebab pada dasarnya manusia tidak dapat berbuat tanpa adanya daya dari Tuhan.
Mengenai paham tentang kekuasaan, kehendak dan keadilan, Al Juwaini berpandangan sama dengan aliran Maturidiyah Bukhara. Bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak tapi dibatasi oleh sifat kasih sayangNya terhadap hamba yang dicintainya. Pembatasan atas kekuasaan dan kehendak Tuhan menurut Juwaini dan Maturidiyah tidak seketat pembatasan yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Al Juwaini dan Maturidiyah membolehkan adanya pembatalan siksa bagi orang mukmin yang berdosa besar, karena adanya sifat Rahman dan Rahim pada Tuhan. Mu’tazilah tidak mengakui adanya pembatalan dosa pada mukmi yang berdosa besar danmati sebelum bertaubat. Tuhan wajib menyiksa mereka yang berdosa besar.
Dalam hal keadilan Tuhan, AL juwaini berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah kebijaksanaan Tuhan dalam menyiksa orang yang berdosa besar. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep milik Mu’tazilah dan Al Asy’ari. Adil bagi Mu’tazilah adalah perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kebaikan manusia. Adil menurut Asy’ari adalah Tuhan boleh berbuat semauNya terhadap apa yang dimilikinya di dalam kerajaanNya karena kekuasaan dan kehendakNya adalah mutlak.
Fungis akal dan wahyu menurut Al Juwaini adalah seimbang dengan perbandingan yang sama. Fungsi wahyu adalah sebagai informasi, konfirmasi dan pemberitahuan tentang hal yang baik dna buruk secar terperinci. Dengan adanya perbandingan yang sama, akal dan wahyu menurut Juwaini sama-sama berfungsi penting. Selain itu, fungsi yang paling utama dari wahyu ialah untuk tonggak kewajiban-kewajiban. Tanpa wahyu, manusia tidak memiliki sebuah kewajiban terhadap Tuhannya.
Iman bagi Al Juwaini ditekankan pada pengertian pemebnaran dengan hati dan pengucapan denga lisan. Hal ini dimaksudkan agar orang mukmin yang berdosa besar (fasik) tidak tergolong dalam kafir atau musyrik, sebab orang yang kafir dan musyrik tidak mendapatkan pembatalan siksa atau syafaat nabi. Mereka tetap mukmin, jadi masih ada harapan mendapat syafaat dan pembatalan siksa. Disin pengertian iman Al Juwaini sama dengan Al Asy’ari. Perbedaan hanya terletak pada sudut pandang. Al juwaini bertolak dari konsep al salah dan wa al ashlah sedangkan Asy’ari berangkat dari perolehan iman.
Pada umunya, tidak terdapat banyak perbedaan pandangan yang ditemukan di kalangan para mutakallimun. Mayoritas dari mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua hal: Ilmu qadin dan ilmu hadits. Hanya Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya ilmu Tuhan yang qadim, sesuia dengan prinsip mereka yang tidak mengakui adanya sifat bagi Tuhan.
Di pembahasan selanjutnya, penulis memaparkan konsep filsafat wujud ala Al Juwaini. Menurutnya, al mawjudat (sesuatu yang ada) terbagi menjadi dua: Pertama, Maujud yang tidak punya awal dan tidak punya akhir, yakni maujud yang qadim, Alloh swt. Maujud yang pada wujudnya. Kedua, maujud yang pada wujudnya mempunyai pembukaan dan pembukuan. Intinya, pendapat Al Juwaini sama dengan konsep ajaran Aswajadan Mu;tazilah Baghdad. Mereka sepakat bahwa ma’dum boleh menjadi ma’lum, tapi tidak digolongkan ke dalam syai’.
Sedangakan dalam filsafat alam, ulama ini berpendapat bahwa alam ini nisbi, keberadaanya tergantung pada keberadaan Tuhan. Alam senantiasa mendapat energi tamabahan dari Tuhan dalam menjalankan Sunnatullah. Pendapat seperti ini tidak jauh berbeda dari pendapat Abd Al Jabbar dan Abu Al Huzail yang berkata kalau alam terdiri dari jism-jism dan makna yang ada padanya. Perbedaan diantara ketiga ulama ini hanya ter;etak pada pemakaian istilah saja. Al-Juwainin memakai kata-kata jawahar dan ard, sedangkan Al Jabbar dan Al Huzail memakai kata jism dan makna dalam membahas teori atom.
Dalam membahas soal kalam dan melihat Tuhan, pendapat Al Juwaini sama dengan pendapat Al Asy’ari. Dikatakan bahwa kalam Tuhan adalah kalam nafsi yang berupa makna dibalik ayat-ayat al Qur’an dan sifatnya qadim. Adapun soal melihat Tuhan, bahwa Tuhan bisa dilihat nanti bila manusia telah ada di surga. Dapat melihat Tuhan adalah suatu kenimatan yang luar biasa. Dalam hal kalam dan melihat Tuhan, Al Juwaini berbeda pandangan dengan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, kalam Tuhan bukan merupakan sifat Tuhan tapi kalam ciptaan Tuhan dan sifatnya baru. Soal apa Tuhan bisa dilihat bagi Mu’tazilah adalah hal yang tidak mungkin. Hukum yang ada pada Tuhan tidak pernah diperbarui ataupun berubah, yang awalnya di dunia tidak bisa dilihat lalu di akhirat tuahn menjadi bisa dilihat.
Dalam soal perbuatan manusia, walau Al Juwaini memakai istilah kasb, seperti Al Asy’ari, tetapi pemahaman yang ditunjukkan mirip dengan Qadariyah. Padahl kasb menurut Al Asy’ari memiliki hasil pemahaman yang mengarah ke pemikiran ala Jabariyah. Ini disebabkan Al Juwaini mengintepretasikan ciptaan Tuhan dan paham kehendak Tuhan sedangkan Al Asy’ari tidak melakukannya. Qadariyah yang dipahami Al juwaini berbeda dengan Qadariyah yang dipahami Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia bebas dalam menentukan perbuatan sesuai dengan kehendaknya, karena manusis sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Bagi Al Juwaini, manusia hanya memiliki kebebasan untuk mengarahkan daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuia dengan kehendak dan kemauannya. Manusia tidak menciptakan perbuatannya sebab pada dasarnya manusia tidak dapat berbuat tanpa adanya daya dari Tuhan.
Mengenai paham tentang kekuasaan, kehendak dan keadilan, Al Juwaini berpandangan sama dengan aliran Maturidiyah Bukhara. Bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak tapi dibatasi oleh sifat kasih sayangNya terhadap hamba yang dicintainya. Pembatasan atas kekuasaan dan kehendak Tuhan menurut Juwaini dan Maturidiyah tidak seketat pembatasan yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Al Juwaini dan Maturidiyah membolehkan adanya pembatalan siksa bagi orang mukmin yang berdosa besar, karena adanya sifat Rahman dan Rahim pada Tuhan. Mu’tazilah tidak mengakui adanya pembatalan dosa pada mukmi yang berdosa besar danmati sebelum bertaubat. Tuhan wajib menyiksa mereka yang berdosa besar.
Dalam hal keadilan Tuhan, AL juwaini berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah kebijaksanaan Tuhan dalam menyiksa orang yang berdosa besar. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep milik Mu’tazilah dan Al Asy’ari. Adil bagi Mu’tazilah adalah perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kebaikan manusia. Adil menurut Asy’ari adalah Tuhan boleh berbuat semauNya terhadap apa yang dimilikinya di dalam kerajaanNya karena kekuasaan dan kehendakNya adalah mutlak.
Fungis akal dan wahyu menurut Al Juwaini adalah seimbang dengan perbandingan yang sama. Fungsi wahyu adalah sebagai informasi, konfirmasi dan pemberitahuan tentang hal yang baik dna buruk secar terperinci. Dengan adanya perbandingan yang sama, akal dan wahyu menurut Juwaini sama-sama berfungsi penting. Selain itu, fungsi yang paling utama dari wahyu ialah untuk tonggak kewajiban-kewajiban. Tanpa wahyu, manusia tidak memiliki sebuah kewajiban terhadap Tuhannya.
Iman bagi Al Juwaini ditekankan pada pengertian pemebnaran dengan hati dan pengucapan denga lisan. Hal ini dimaksudkan agar orang mukmin yang berdosa besar (fasik) tidak tergolong dalam kafir atau musyrik, sebab orang yang kafir dan musyrik tidak mendapatkan pembatalan siksa atau syafaat nabi. Mereka tetap mukmin, jadi masih ada harapan mendapat syafaat dan pembatalan siksa. Disin pengertian iman Al Juwaini sama dengan Al Asy’ari. Perbedaan hanya terletak pada sudut pandang. Al juwaini bertolak dari konsep al salah dan wa al ashlah sedangkan Asy’ari berangkat dari perolehan iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar