Pertanian merupakan fokus utama dari strategi dan prioritas pengembangan orde baru. Meskipun sektor ini tidak begitu menderita kerusakan di zaman Soekarno, dibandingkan dengan komponen ekonomi yang didasarkan perkotaan, kinerja pertanian pada periode sebelum 1966 tidak begitu mengesankan. Indonesia lamban dalam mengolah kesempatan yang muncul dari varietas panen baru yang dikenal dalam revolusi hijau, sebagian disebabkan input perdagangan sektor modern belum siap.
Sejak awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia berubah drastis seiring perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla) yang dijadikan landasan utama dalam program pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat bersamaan arus global politik-ekonomi dunia memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan alternatif revolusi merah.
Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas), yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria (pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai development without social transition (Wiradi, 1999).
Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25 hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar