Sebelum menulis, aku termenung sejenak. Terbuai dalam dentingan piano berirama lembut. Memainkan lagu Kiss of Rose karya Christopher Peacock. Ku hela napas panjang. Tak habis pikir. Rasanya baru kemarin aku bilang ‘semua kelihatan semakin membaik’. Sekarang ucapan itu tidak sedang berlaku. Terasa ada sesuatu yang hadir, berusaha mengusik.
Pagi itu, ku lihat akun jejaring sosialku di laptop. Ada satu pesan baru tertulis di situ. Barangkali si Irham, Kamal, atau Bibeh. Feedback mereka sedang kutunggu. Unit analisis semiotika kami masih menemui jalan buntu di diskusi kemarin.
Pagi itu, ku lihat akun jejaring sosialku di laptop. Ada satu pesan baru tertulis di situ. Barangkali si Irham, Kamal, atau Bibeh. Feedback mereka sedang kutunggu. Unit analisis semiotika kami masih menemui jalan buntu di diskusi kemarin.
Ternyata sebuah pesan tak diundang yang nampang. Mataku mengerjap-ngerjap. Siapa orang ini (di hidup baruku)? Aku tak kenal. Oh, agaknya aku lalai memberitahu. Di skenario yang baru ini, ia tidak lagi diminta untuk berperan. Pun sekedar tokoh pembantu.
Aku tersenyum sinis. Apa-apaan ini? Dahiku berkerut membaca tiga kata dalam pesan itu. Dek, Mas kangen. Huuffhh, virus apa lagi yang kali ini kutemukan. Pikirnya aku mungkin orang yang pikun. Kelihatannya ia tidak paham betul, sefatal apa aku dibuatnya meradang. Haruskah kukatakan, “hai Bung, aku bukan bagian dari mereka. Yang bisa kau anggap sebagai channel stasiun TV itu.” Bisa digonta-ganti sesuai selera.
Dia sendiri yang bilang kami tidak cocok. Lucu. Efek komunikasi intens selama dua puluh bulan seakan tidak ada artinya. Pudar sebab menguap terlalu cepat di otaknya. Aku sangat heran. Tidakkah maafku cukup menjamin kebebasan hidupku, atas mengingat sebuah rasa sakit? Ironis. Bahkan semua orang tahu, melupakan tidak sesimpel mendelete file dari computer. Memindahkannya ke recycle bin. Mengosongkan semua sampah yang tertimbun. Itu tidak berarti semua file lalu benar-benar hilang dari memori.
Apa orang ini cukup buta untuk tahu ada yang disebut dengan tune up undelete di sana. File-file yang disangka hilang bisa dikembalikan. Dan memori dipikiranku, jauh lebih baik dari tune up undelete. Untuk merestore semua file-file nurani yang kadung dibuatnya porak poranda.
Bahwa kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya itu benar. Jadi biarkan aku menginstal ulang semuanya. Bahkan mendapatkan laptop (pujaan hati) yang baru (hehe). Laptop baru, dipesan langsung ke PT. Sidratul Muntaha. Barangnya bagus. tepat guna. Tepat waktu.
Dengan semua yang serba baru, kemungkinan dia muncul di sana semakin mengecil. Antivirusku lebih canggih dari Avg atau Avira, untuk membendung serangan virus-virusnya. Software ini dipesan langsung dari Tuhan. Yang sudah berbaik hati memberi kesempatan kedua. Yang tidak pernah meninggalkanku walau ku abaikan perhatiannya.
(Imagine that person is just too cruel to you till he even does not deserve to say ‘I miss you’. This is more miserable than what Othello has. Because it is true, I just could not say the perfect version unless a novel is made, hehehe)
Thank you for reading,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar